#LingkarTulisan: Nomer Dua Puluh (7)
Sejak kepindahanku dari pojok ruangan ke bagian
paling depan, semuanya masih begitu asing buatku. Ya, kepindahanku. Aku, si
nomor dua puluh kesukaan banyak orang, kini berubah fungsi menjadi komputer
yang hanya digunakan sang operator warnet, Naldo atau Rian.
Sepertinya hal ini disebabkan oleh virus yang
berasal dari harddisk atau flashdisk salah satu pengunjung dan
kemudian menyerangku kira-kira sebulan yang lalu. Awalnya aku hanya bekerja
lebih lama dari biasanya dan membuat beberapa pengunjung terlihat menggerutu
dan tidak sabaran, tapi kemudian seringkali secara tiba-tiba aku berhenti
beroperasi dan me-restart secara
otomatis, seperti yang dulu pernah terjadi pada Nana dan membuatnya sangat
panik dan bingung.
Naldo memutuskan untuk mengistirahatkanku sejenak
dari pemakaian yang menurutnya terlalu banyak dibandingkan dengan komputer
lainnya. Ia menukar posisiku dengan komputer nomor tujuh yang ada di bagian
depan dekat tempat duduknya dan mengosongkan posisi nomor tujuh menjadi tempat
fotokopi.
Sudah seminggu ini, dalam rangka proses recovery akhirnya aku resmi menemani
Naldo atau Rian bertugas jaga di warnet, bukan sebagai komputer billing melainkan komputer operasional
untuk membantu pengunjung yang ingin melakukan proses print, edit, hingga scan.
Jika Naldo menghabiskan banyak waktunya dengan blog pribadinya yang berjudul Words of Warrior, Rian biasa
memanjakanku dengan daftar lagu lawas (baik asli maupun cover version) yang rutin dia download
dari beberapa situs langganannya serta menonton serial anime kesukaannya.
Tentu saja aku sangat senang dengan cara mereka
merawatku dan membuatku nyaman, tapi terkadang aku juga merindukan beberapa
pengunjung yang bersama mereka seolah menghabiskan waktu dengan teman dekat,
seperti dengan Nana contohnya.
Ah, Nana.
Sejak kunjungan terakhirnya saat dia harus pulang
dengan sangat terburu-buru, aku belum melihatnya lagi. Bisa dibilang sudah
hampir sebulan.
***
Saat itu Naldo diminta Nana untuk mematikan koneksi
internet dan tak lupa menyimpan hasil ketikan yang sedang Nana kerjakan.
“Ternyata cewe
galak kaya gitu bisa galau juga.” gumam Naldo saat itu sambil tersenyum
memandang tulisan Nana.
Di bagian profil blog Nana terdapat foto close-up Nana yang sepertinya diambil
tanpa sepengetahuan gadis itu. Naldo memandangi foto tersebut cukup lama.
“Kok gua kaya
pernah liat di mana gitu ya ni anak...” lagi-lagi Naldo bergumam sendiri. Kali
ini sambil mengerutkan dahinya seolah ia sedang berpikir keras.
“Ah, udah ah.
Kenapa jadi kepo gini deh.” lanjutnya sambil mematikan komputer.
***
Sejak pagi tadi Naldo tampak begitu serius dengan blognya. Siapa sangka di balik sosok
cueknya sehari-hari ternyata pria yang ada di depanku ini seolah belum move on dari cinta masa lalunya.
“Lagi galau ya?”
Kehadiran Nana mengagetkanku. Terlebih Naldo.
Tidak cukup sampai di situ, aku dan Naldo ternyata
dibuat kaget oleh Nana yang tiba-tiba menunjukkan handphonenya ke depan muka Naldo sambil berteriak.
“INI BLOG ELO?”
Entah dari mana Nana akhirnya bisa mengetahui bahwa
pemilik blog kesukaannya Words of Warrior adalah Naldo sang
pemilik warnet langganan sekaligus teman kampusnya dulu.
“Gue mau pamitan.” tiba-tiba raut muka dan intonasi
Nana berubah menjadi sedih.
Berdasarkan cerita Nana, ternyata ayahnya baru saja
meninggal. Tepatnya saat kunjungan terakhir Nana dan ia mendapat telepon dari
mamanya. Ayah yang selama ini tidak pernah dia tahu keberadaannya karena beliau
meninggalkan Nana dan mamanya saat ia baru lahir.
Selain akan pindah ke rumah yang selama ini
ditempati oleh ayahnya sesuai permintaan terakhir beliau, ternyata Nana dan
mamanya juga menerima sebuah warisan dari ayahnya yang sampai saat ini belum
mereka ketahui.
“Yaudah, mau pamitan sama nomor dua puluh ya.”
Andai Nana tahu bahwa sejak tadi aku sudah ada di
depannya, mendengar kisah terenyuhnya tentang keluarga yang baru saja
diketahuinya. Rasanya aku ingin memeluk Nana dan membiarkannya menumpahkan
semua unek-uneknya.
“Nomor dua puluh, udah ganti komputer.”
“LAH, KOK BISA?” suara cempreng Nana lagi-lagi
mendominasi ruangan.
“Ya bisalah Na.” jawab Naldo dengan santai.
“Iiiiiiih… serius dong Naldo! Kenapa dipindah sih?
Udah bener-bener posisinya di pojokan gitu.” gerutu Nana yang seolah tidak rela
karena tidak bisa lagi bertemu denganku.
“Lu inget ga yang pas kapan itu si nomer dua puluh
ini tiba-tiba mati sendiri dan lu jejeritan ke gua?”
Nana tampak berpikir, mengingat-ingat.
“Iya, inget. Kenapa emang kenapa?” tanyanya tidak
sabaran
“Kayanya kena virus gitulah, makanya sekarang lagi recovery sambil gua pake buat back-up di sini. Nih dia..” Naldo menepukku
pelan.
Nana memandangku dengan tatapan yang masih membuat
siapapun terenyuh tiap kali melihatnya. Entah karena dia masih berduka atas
meninggalnya ayah yang belum dikenalnya atau karena harus berpisah denganku.
“Dari awal main ke warnet ini, gua dapetnya di
nomer dua puluh dan ga tau kenapa langsung ngerasa sreg. Sejak itu gua ga mau
ganti komputer lagi Nal.” cerita Nana panjang lebar.
“O gitu..”
“Iya gitu Nal. OH, IYA!! Gua ada ide..”
“Apa?”
“Klo komputernya udah bener, boleh gua tawar aja
ga? Gua beli deh. Boleh ya Nal, pliiiis…” Nana terlihat sangat bersemangat
dengan idenya.
Aku dilema. Di satu sisi aku senang bisa bersama
Nana, di sisi lain aku juga sudah menganggap Naldo adalah penyelamatku.
“Enak aja. Wani
piro?” ledek Naldo sambil melangkah keluar sambil mengeluarkan sebatang
rokok dari bungkusnya.
“Hih! Naldo pelit. Dah ah, cabut dulu ya Nal. Mau
nemenin nyokap ketemu pengacaranya bokap soal warisan misterius. Dadah Nomer
Dua Puluh! Thanks ya udah nemenin selama ini…” perempuan bersuara cempreng ini
mengusapku sekilas sebelum menyusul Naldo keluar.
***
Pagi ini cukup mendung. Sepertinya efek hujan tadi
malam. Kulihat Naldo sedang sibuk mengepel bagian depan warnet yang memang
sedikit becek karena cipratan genangan air hujan. Ketika dia sedang membereskan
kertas-kertas yang berserakan, tiba-tiba ada sesosok pria mengenakan kaus lengan
pendek berwarna kuning muda dan celana digulung sedengkul berdiri di pintu yang
memang dibiarkan terbuka.
“Rajin banget sih Nal!” sapa pria itu sambil tersenyum
ramah.
“Eh, Pak Ben! Iya ni Pak, mumpung masih pagi. Ga
tau deh nanti siang. Hehe..” jawab Naldo, juga tak kalah ramah.
Namanya Pak Ben. Setahuku, dia adalah pemilik toko
kelontong yang berada di samping warnet ini.
“Nal, kamu udah denger kabar?” Pak Ben tiba-tiba
membuka percakapan.
“Kabar apa tuh Pak?” Naldo menghentikan
beres-beresnya dan mulai mendekat ke Pak Ben yang berdiri tak jauh dari meja
operator.
“Kemarin ada notaris datang, katanya pemilik
deretan ruko yang kita tempati ini baru aja meninggal.”
“Oya Pak? Bapak kenal?” Naldo sedikit penasaran.
“Saya sih belum pernah ketemu langsung. Tapi kata
Pak Marzuki yang punya warung tahu bulat dan molen mini di pojokan, orangnya
ramah banget. Namanya Pak Kartono.” sembari menjelaskan, sesekali tangan Pak
Ben cekatan mencukur jenggotnya dengan uang logam.
“Trus Nal, katanya sederetan ruko ini diwarisin ke
anak dan istrinya. Nah, kontrak kita kan habis bulan depan ni. Maksud saya sih,
siap-siap aja dari sekarang. Kita kan ga tau keluarganya itu mau bikin ni
tempat jadi apa.”
“Ooo. Gitu ya Pak.” Naldo terlihat menghembuskan
napas panjang.
“Ya tapi kan belum pasti juga. Ini baru omongan
temen-temen aja. Namanya kemungkinan. Udah ah, saya mau buka toko dulu.” Pak
Ben pun melangkah pergi dari warnet.
Aku melihat Naldo berdiri mematung sepeninggal Pak
Ben.
Aku melihat sekelilingku.
Satu bulan lagi.
Comments
Post a Comment