#LingkarTulisan: Nomer Dua Puluh
Sinar matahari yang biasanya membelai lembut
permukaan kulit, entah kenapa hari ini seolah membakar bolak-balik sekujur
tubuh. Terasa panas dan terik, bukan hangat. Ditambah lagi sudah seminggu
pendingin ruangan di tempat ini rusak sehingga membuat pintu harus selalu dibuka
dalam rangka menjaga sirkulasi udara, dan kenyamanan tentunya.
Jam dinding berlogo salah satu merek rokok yang
tergantung di sudut ruangan belum menunjukkan pukul tujuh pagi tapi seolah saat
ini sudah lewat tengah hari. Aku rasanya butuh menceburkan diri ke kolam air
dingin. Terlalu gerah.
Dari tempatku di pojok ruangan aku melihat sehelai
kain setengah basah yang baru saja dicuci sedang dijemur di area depan dekat
pintu masuk. Melihat tetesan airnya membuatku ingin membaringkan diri di
bawahnya. Terlihat sejuk.
Ah, sepertinya aku terlalu banyak mengkhayal pagi
ini sampai tidak memperhatikan keadaan di sekelilingku yang mulai
memperlihatkan tanda-tanda kesibukan. Rupanya sudah pukul delapan.
Perkenalkan, aku adalah salah satu komputer di
warung internet (warnet) dua puluh empat jam di kawasan kompleks perumahan ini.
Orang-orang biasa memanggilku “item pojok” atau
“nomer dua puluh”, terserah mana yang lebih mereka sukai. Alasannya tentu saja
karena tampilanku yang berwarna hitam, letakku di pojok ruangan, dan nomor
urutku adalah dua puluh.
Aku baru saja dibeli oleh pemilik warnet ini
kira-kira tiga bulan yang lalu. Di hari pertamaku dulu, aku merasa sangat kesal
karena ditaruh di pojok ruangan yang berdebu dan tentu saja jauh dari pandangan
siapapun yang datang ke tempat ini. Saat itu kupikir bagaimana mungkin mereka
akan memutuskan untuk menghabiskan waktu denganku jika mereka tidak dapat
melihatku, tentunya deretan komputer di bagian depan akan lebih menarik
perhatian. Ya, aku iri.
Tak disangka, beberapa kali aku mendengar bahwa
ternyata justru sang pemilik warnet merekomendasikanku pada setiap pengunjung
yang datang dan bertanya komputer mana yang bagus.
Selama tiga bulan tinggal di sini aku sudah
“bertemu” banyak orang, baik dalam waktu beberapa menit, jam, bahkan beberapa
kali dalam seminggu. Bahkan bisa dibilang bahwa aku punya beberapa langganan
tetap yang karena begitu seringnya “bertemu” seolah aku mengenal mereka dengan
baik lewat kebiasaan-kebiasaan mereka saat bersamaku.
Hari ini tidak seperti biasanya, tidak ada satu
orangpun yang menemuiku sejak dua jam yang lalu warnet ini mulai buka. Aku
melihat sekelilingku, beberapa komputer di barisan tengah tampak kosong tapi
ada beberapa bocah terlihat asik bergerombol di dua komputer bagian depan.
Komputer nomor sepuluh yang terletak di depanku
terlihat memprihatinkan. Berdebu dan jarang ditemui. Ia adalah yang tertua di
tempat ini dan kemampuannya sudah jauh di bawah rata-rata. Kebaikan hati si
pemilik warnetlah satu-satunya yang membuatnya belum berpindah tangan ke
juragan barang loak.
Aku mendengar langkah kaki mendekat. Ah, rupanya Naldo,
si pemilik warnet yang datang. Sekilas kulihat dia membawa cd antivirus dan
beberapa software terbaru yang perlu
diupdate. Tak lama setelah dia selesai memastikan kondisiku, terdengar pintu
depan dibuka.
“Permisi!’ terdengar sebuah suara berat di pintu
masuk.
“Iya. Silakan masuk.” teriak Naldo sambil
membereskan perlengkapannya di depanku.
“Ada komputer kosong?” pria itu kembali bersuara.
“Ada banyak Pak, silakan dipilih. Atau Bapak mau
pake yang ini?” wah, aku cukup kaget mendengar Naldo langsung menawarkanku pada
pengunjung ini.
“Bagus tidak?”
“Salah satu yang terbaik. Silakan dicoba!” Naldo
pun beranjak kembali ke tempatnya dan membiarkan pria itu duduk di depanku.
Setelah memperkenalkan namanya kepadaku sebagai
Kartono dan mengatur waktu pemakaian untuk satu jam ke depan, ia segera mengeluarkan
sebuah flashdisk dari tasnya dan mulai menelusuri isinya.
Kulihat ia terdiam memandangku sebelum akhirnya membuka
satu folder dengan judul My Last Words
yang terdapat file dengan awalan nama serupa seperti A letter to my soulmate dan A
letter to my twin princess. Sepertinya masing-masing surat ditujukan untuk orang-orang
yang dikasihinya, mungkin anak-anak dan istrinya.
Sekilas di salah satu surat ia mengungkapkan bahwa
dokter baru saja memvonis usianya tak lebih dari tiga bulan akibat penyakit
kanker yang dideritanya. Ia tak sanggup memberitahukan keluarganya mengenai hal
tersebut sehingga Ia memutuskan untuk mengirimkan masing-masing dari mereka
sebuah surat.
Kini aku tahu mengapa raut muka pria yang ada di
hadapanku saat ini terlihat begitu sedih sejak tadi.
Tak terasa empat puluh menit sudah kuhabiskan
dengan Pak Kartono. Aku seolah ikut dapat merasakan kegundahan hatinya di
setiap kata demi kata yang dia tulis. Sekali lagi dibacanya ulang surat-surat
tersebut dengan mata yang nyaris berkaca-kaca.
“Betapa aku mencintai kalian.” gumamnya perlahan.
Lima menit terakhirnya digunakan untuk menyimpan
hasil ketikannya dan mematikan koneksi internet.
Aku mendengarnya berterima kasih saat ia membayar
biaya pemakaian internetnya kepada Naldo.
“Kau benar, nomer dua puluh adalah komputer yang
sangat bagus. Rasanya seperti menghabiskan waktu dengan seorang teman. Saya
merasa lebih tenang. Terima kasih atas rekomendasinya.”
Naldo sama sekali tidak mengerti maksud omongan Pak
Kartono tapi dengan ramah ia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum lebar
karena mendapat uang tip lebih.
Sekeluarnya pria itu dari ruangan ini, entah kenapa
aku sedikit berharap tiga bulan dari sekarang ia akan datang dan menemuiku
lagi.
Jadi keinget film "her".
ReplyDeletekeinget akunya kapan?
Delete*gumoh*
Kak ini keren, ceritanya buat penasaran. Item pojok itu komputer yaa. Gak sabar liat terusannya kak :")
ReplyDeleteMakasih. :)
DeleteAku juga ga sabar ni nerusinnya. #padahalbingung
BAGUS BANGET INI KYAAAA.
ReplyDeleteOkeh.
Ayo.
MANA LANJUTANNYA?! :))
Terima kasih, Kak Cori!
MAKASIH LOOONK!
DeleteLa..lanjutan? Apa itu lanjutan?
I love it, Cori!
ReplyDeleteSuch an honor.
DeleteThanks Mbak.. :)
Aaak.
ReplyDeleteJadi penasaran sama lanjutannya nanti.
Aaak.. makasih udah baca. :D
Deletewaini hahaha. nyeritain dari sudut pandang computer. tantangan nih buat bikin kelanjutannya.
ReplyDeletetema umum nya cinta kan? nah ini saya jadi bingung karena ada ide hehe.
1. bisa jadi si item pojok ini tugasnya nyeritain kisah cinta kartono dengan tiap hari kartono bikin diary bersama item pojok.
2. bisa jadi cerita lebih fokus ke si item pojok yang merasa ada ikatan dengan kartono dan endingnya ya perpisahan pastinya.
3. bisa jadi cerita lanjutannya dimulai dengan "3 bulan telah berlalu..."
4. nah ini yang paling absurd hehe. mereka ngga ketemu di 3 bulan kemudian. bukan karena kartono keburu wafat, tapi si item pojok yang keburu dijual sama pemiliknya hehehe.
makasih udah baca ya.. :)
Delete(((kisah cinta Kartono)))
makasih juga buat ide2nya, mari kita liat kira2 bakal diapain... *bingung*