#LingkarTulisan - end
Sebelumnya: http://www.romiyooo.com/2016/04/lingkartulisan-nomor-dua-puluh-8.html
Tiga bulan kemudian.
Tiga bulan kemudian.
Naldo
Selama
ini gue pikir keajaiban itu cuma mitos. Sampe akhirnya sekarang gue ngeliat
sendiri apa yang gue alamin tiga bulan terakhir. Sejak pertama kali denger dari
Pak Ben tentang pemindahan kepemilikkan deretan ruko yang salah satu di
antaranya adalah warnet gue, jujur aja gue bingung harus gimana. Bisa dibilang
beberapa malem sesudahnya yang ada di pikiran gue cuma dia. Bukan, bukan Pak
Ben atau pemilik kontrakan baru melainkan nasib warnet ini. Tempat gue ngabisin
hampir separuh hidup gue empat tahun terakhir. Tempat gue nerapin ilmu komputer
seadanya yang gue dapet pas kuliah meski cuma sampe semester 5. Tempat gue bisa
ketemu dan kenal banyak orang yang udah gue anggep temen, sahabat, bahkan
keluarga sendiri.
Gue
masih inget kejadian kira-kira sebulan lalu pas warnet lagi sepi, tiba-tiba ada
seorang ibu-ibu paruh baya yang masuk.
“Selamat
siang!” sapa ibu itu dengan suara kalem.
“Eh,
iya. Siang Bu. Bisa dibantu?” gue yang saat itu lagi asik ngebales WhatsApp
dari calon pembeli komputer berikutnya sempet kaget juga. Yaiyalah, emaknya
siapa coba ni gaul banget main ke warnet siang bolong.
“Kamu
pemilik warnet ini?” tanya si ibu kalem, kali ini sambil tersenyum.
“Betul
Bu, saya Naldo. Ada apa ya kalo boleh tau?” tanpa bermaksud alay dengan
pertanyaan gue ke dia, sebenernya kepo juga liat si ibu kalem ini yang sejak
tadi tampak misterius.
“Saya
Laras, istri dari mendiang Pak Kartono, pemilik deretan ruko di sini,” si ibu kalem memperkenalkan dirinya dengan
tenang, kebalikan dari gue yang mendadak senewen campur deg-degan menerka-nerka
maksud kedatangannya. Jujur aja saat itu gue masih belum siap ngadepin worst case dalam bentuk harus pindah.
“Oh
iya Bu, ada apa ya?” ketiga kalinya ngasih pertanyaan serupa dan seketika gue
merasa bodoh-banget-seolah-namanya-juga-cuma-kang-warnet.
“To the point aja ya Naldo, maksud
kedatangan saya ke sini mau kasih tau bahwa saya ada rencana sedikit melakukan
perubahan dengan renovasi di beberapa ruko yang keliatannya mulai usang.
Mungkin nantinya kalo kamu berminat bisa sekalian rombak warnet ini dengan split ruangan jadi smoking dan nonsmoking.
Gimana menurut kamu?” si ibu kalem tiba-tiba mencerocos dan mengiming-imingi
gue yang lagi galau ini dengan tawaran menarik.
Singkat
cerita gue dikasih waktu tiga hari untuk memberikan jawaban. Tentu aja gue
bilang iya untuk rencananya itu, dengan tiga alasan. Satu, renovasi dilakukan
serempak di waktu yang ditentukan bersama sehingga masing-masing ruko tidak
perlu tutup dalam waktu lama. Dua, tidak ada
kenaikan biaya sewa. Tiga, yang paling mengejutkan, Bu Laras ternyata
adalah mamanya Nana. Iya, Nana si cewe cempreng. Tidak hanya itu, Nana ternyata
memiliki saudara kembar yang sejak lahir terpisah. Dialah “Meriva” gue, Nada.
Pantesan dulu pas gue liat foto profil blog
Nana terkesan familiar.
See, apa gue masih berani bilang keajaiban itu mitos?
Suatu
hari pas proses renovasi berlangsung, Bu Laras datang ditemenin kedua anaknya
yaitu Nana dan Nada. Gue kaget. Mereka apalagi.
“Naldo,
kenalin ini anak-anak saya. Mereka kembar, yang ini Nana dan di sebelahnya itu
Nada.”gue yang lagi serius ngeliatin proses kerja bareng bang mandor langsung
pucet pas liat dia, sosok mungil berkacamata dan berambut pendek yang dulu
pernah hadir di masa lalu. Dia, “Meriva” yang selama ini hidup di blog gue, saat ini berdiri di hadapan
gue dan terlihat sedikit terkejut juga. Dia, Nada Ilvy Meriva.
“Apa
kabar, Naldo?” ah, senyum itu.
Halo,
kenalin nama gue Naldo. Panggil aja GagalMoveOn.
“B…baik
Nada.” hanya itu yang bisa keluar dari mulut gue saat itu. Meski dalam hati gue
bertekad kehadiran Nada di hari-hari berikutnya akan membuat semuanya jauh
lebih baik lagi.
Untuk
kali ini gue setuju dengan quote alay
yang sempet jadi DP BBM Bang T-J waktu itu yang bilang kalo “cinta
itu bagai pasir di pantai, semakin kuat kita genggam maka justru akan semakin
terlepas.” Iya, kadang quote semacam itu ada benernya juga.
Gue yakin, ini semua terjadi agar gue bisa ngejalanin
hari-hari dengan lebih baik lagi. Meskipun hidup nggak seperti film Disney yang
selalu berakhir bahagia, tapi seenggaknya, jika gue nggak punya akhir yang
bahagia, gue bisa bahagia saat ini. Gue masih selalu berharap ada orang tua
yang bisa memberikan gue nasihat tiap malam, menyemangati saat gue dalam
kesusahan, dan memberikan kasih sayang yang udah lama nggak gue dapatkan.
Nana
Gue
nggak tau harus
seneng atau sedih sama apa yang baru aja melanda hidup gue di tiga bulan
terakhir. Bokap yang sejak lahir ke dunia ini nggak gue kenal kaya apa ternyata menyapa gue dalam
bentuk lembaran surat wasiat dan pesan terakhir.
“Mendiang
Pak Kartono meminta saya memberikan surat wasiat ini kepada Ibu Laras dan Mbak
Nana sesuai permintaan terakhir beliau sebelum meninggal dunia,” gue masih inget kata-kata pengacaranya bokap saat
itu.
“Selain
rumah yang selama ini beliau tempati, beliau juga mewariskan deretan ruko yang
terdiri dari warnet, minimarket, dan beberapa kedai makanan. Khusus untuk ruko
hak warisnya dibagi tiga yaitu untuk Ibu Laras, Mbak Nana, dan putri beliau
yang satunya, Mbak Nada. Kebetulan dia sekarang kerja di Bandung jadi tidak
bisa hadir.”
(((putri
beliau satunya)))
Gue
cuma melotot kaget ke si pengacara sebelum gue liat nyokap di sebelah gue yang
berkaca-kaca kelihatan banget menahan emosinya.
“Ma…”
“Iya,
Na. Mama minta maaf. Sebenernya kamu punya saudara kembar, namanya Nada, tapi saat itu kami sepakat bahwa dia akan
ikut dengan Papamu. Maafin Mama yang udah nggak
jujur sama kamu,”
Saat
itu gue bengong sambil menenangkan nyokap yang menangis histeris di pelukan
gue. Selama ini gue masih punya bokap dan gue bukan anak tunggal.
Kecewa,
marah, sedih, seneng, entah gimana perasaan gue saat itu.
Satu
hal yang gue tau harus lakuin adalah, kasih tau ini semua ke Naldo selaku salah
satu pemilik warnet yang ada di ruko bokap.
Pagi
itu gue nggak jadi ngomong ke Naldo karena tau-tau ada Rian.
Dia operator malem di warnet Naldo yang belakangan emang kita lagi deket
banget. Mungkin kita sama-sama nyaman satu sama lain tapi ya entahlah, gue nggak
berani mengharap apa-apa juga selama dianya nggak
ada ngomong apa-apa.
Perlahan
gue dan Nada mulai deket dan sumpah demi apa ternyata
kakak-selisih-sepersekian-menit gue ini adalah mantannya Naldo. Gue penasaran
sih apa Nada tau kalo selama ini dia adalah tokoh utama di balik kegalauan
Naldo. Ha!
Gue
masih sering main sama Meriva, si nomer dua puluh yang keukeuh banget nggak bakal dijual sama Naldo. Meski sebenernya sekadar modus aja sih biar
ketemu Rian. Ya, biar gimana pun juga berkat dia dan warnet inilah gue bisa
ketemu dan ngalamin banyak perubahan dalam hidup gue.
Well,
semua yang terjadi emang nggak pernah ada di bayangan gue sama sekali bahkan kepikiran aja nggak. Tapi mungkin kadang di situ enaknya ngejalanin
hidup, nggak terlalu
pusing mikirin mau ini itu.
Gue
bahagia dan bersyukur dengan hidup gue saat ini. Itu aja rasanya cukup. Dan gue percaya, selalu ada
rentetan keajaiban di dalam harapan.
Selalu ada datang setelah pergi.
Selalu ada.
Bentar, kenapa gue jadi bijak?!
Meriva
Banyak
hal yang berubah selama tiga bulan terakhir. Perubahan yang mungkin awalnya
tidak sesuai dengan keinginan namun tetap harus dijalani. Tentang deretan ruko
yang ternyata tidak jadi dibongkar bahkan justru direnovasi besar-besaran oleh
sang pemilik baru. Tentang warnet Naldo yang kini diperluas karena dibagi
menjadi dua area, smoking dan nonsmoking. Tentang
aku yang tidak lagi menjadi komputer operator tetapi kembali ke posisi awalku
yaitu si nomor dua puluh di pojok ruangan, dengan nama baru yaitu Meriva. Tentang Naldo dan Nana yang menemukan
(kembali) cintanya lewat potongan kisah di blog
melalui sosok komputer pemikir dan melankolis. Tentang masa lalu yang
tiba-tiba datang menyergap dan masa depan yang seolah terlihat mengintip
malu-malu.
Awalnya
aku pikir mengenal manusia itu sebatas memahami bahwa mereka memang (akan)
datang dan pergi begitu saja. Kedatangan yang tidak selalu diharapkan serta
kepergian yang tidak perlu disesalkan. Sampai ketika aku merasa memiliki ikatan
dengan mereka. Mungkin bisa dibilang aku terlalu berlebihan, tetapi memang
sedikit banyak ada semacam kehausan dalam diriku akan kehadiran mereka setiap
harinya. Entah apa ini yang dinamakan dengan ketergantungan.
Awalnya
aku bersikap biasa saja dengan mereka yang datang mengisi kekosonganku. Mereka
yang berusaha memuja eksistensi, mencari pemuas fantasi, atau mengenal diri
tidak hanya dari satu sisi. Sampai aku bertemu dengan orang-orang yang seolah
mengajakku ikut merasakan apa yang mereka alami, meski hanya dalam hitungan
menit atau jam. Mereka mengizinkanku melihat kekecewaan, kesedihan,
kebahagiaan, apapun rasa yang mereka punya lewat mata yang selalu menatapku.
Awalnya
aku kira Nana dan Naldo adalah pasangan yang ditakdirkan oleh semesta hanya
saja masih butuh waktu untuk saling menemukan. Terlalu banyak kebetulan yang
rasanya membuatku tak sabar ingin melihat mereka berdua bahagia bersama. Sampai
aku lupa bahwa menebak jalan takdir seseorang tidak semudah menebak jalan
sinetron di layar kaca yang hampir tiap malam menjadi tontonan kesukaan Rian.
Sampai aku lupa bahwa bahagia meski tidak bersama adalah jauh lebih baik
daripada melihat mereka bersama namun tidak bahagia.
Siapa
sangka, nama “Meriva” yang sering aku baca di blog Naldo tiba-tiba muncul begitu saja di hadapan dalam sosok
nyata. Ia, si perempuan mungil berambut pendek dan berkacamata tidak hanya
potongan kisah dari masa lalu Naldo, tapi juga salah satu putri pemilik ruko
sekaligus adalah saudara kembar Nana yang terpisah sejak mereka lahir.
Pikiranku
melayang ke potongan-potongan kejadian selama beberapa bulan terakhir di warnet
ini.
Teringat
pertama kali berjumpa dengan Pak Kartono yang saat itu tengah menahan beban
teramat berat akibat vonis dokter tentang sakit kanker yang dideritanya
sehingga ia harus “berpamitan” dengan istri dan kedua putri kembarnya melalui
sebuah surat.
Teringat
Nana dan Naldo yang masing-masing terbuai dengan rangkaian kata di blog, yang satu tenggelam dalam rasa
penasaran dan kekaguman sementara yang lain sibuk merawat luka masa lalu.
Teringat
kabar berpindahnya hak kepemilikkan deretan ruko yang membuat Naldo sempat
gegabah dan terpaksa merelakan beberapa asset warnet terjual.
Ternyata
selama ini semua bagaikan kepingan puzzle
yang saling berhubungan satu sama lain.
Semuanya
tidak hanya datang dan pergi.
Mereka
(akan) berubah.
Kecuali
aku yang selalu diam.
Menunggu
siapapun datang, menemani, untuk selanjutnya merelakan mereka pergi.
Aku adalah komputer warnet si nomor dua puluh.
***
Hari ini tepat seminggu setelah warnet gue kembali beroprasi, gue
menambahkan beberapa komputer baru, dan memasang jaringan internet lebih
kencang. Pukul 8 pagi emang jadi waktu paling favorit gue, karena pengunjung
belum ramai, bahkan kadang nggak ada, dan gue masih bisa menghisap Marlboro
putih serta menyeruput kopi hitam di depan warnet.
Mobil Fortuner TRD Sport berwarna putih tiba-tiba
berhenti di depan warnet gue. Nggak mungkin kan, orang bawa mobil sekeren itu
mau main komputer warnet. Tunggu dulu, apa jangan-jangan itu adalah tim uang
kaget yang akan ngasih gue uang 20 juta dan harus dihabiskan dalam waktu 10
menit? Ah kalau gitu gue bakal beli motor baru aja deh, tuker tambah sama motor
lama. Ini kenapa gue malah mengkhayal.
Terdengar suara pintu mobil yang kebuka, tapi gue masih
asyik berkutik dengan handphone gue. Gue masih scroll-scroll akun instagram-nya
Pevita Pearce sama Chelsea Islan. Penyegaran di pagi hari lah. Lalu tiba-tiba,
suara gagang pintu gerbang gue yang dibenturkan ke tiang gerbang, dan dari
depan gerbang gue ngeliat dua orang berdiri di sana. Perempuan dan laki-laki.
Lebih tepatnya, nyokap gue bersama seorang laki-laki. Gue terpaku. Gue cuma
bisa diem ngeliat ke arah mereka. Rokok gue jatuh.
“Naldo, Ibu dan Ayah, pulang....”
“You can’t describe life. You just live.”
Comments
Post a Comment