Kutukan Juli
Nama
saya Juli dan ini sudah kesembilan belas kalinya saya gagal untuk menjalin
hubungan dengan orang lain.
Tidak
hanya hubungan pertemanan tapi juga percintaan. Rekor terlama saya dekat dengan
orang lain adalah sekitar empat tahun yaitu semasa kuliah yang itupun tidak
sepenuhnya bahagia. Terakhir kali saya takabur melabeli seseorang sebagai
(calon terkuat) sahabat tapi ternyata lagi-lagi kandas. Menyedihkan.
Kebetulan
si korban –atau pelaku, entahlah- yang kesembilan belas ini adalah laki-laki
dan statusnya pun hanya teman. Saya mengenalnya beberapa tahun lalu karena
urusan pekerjaan dan hanya sempat bertemu satu dua kali tanpa sempat mengobrol
banyak. Kedekatan di antara kami justru muncul saat kami sudah tidak lagi
berhubungan secara profesional. Berawal dari saling menambahkan sebagai teman
di salah satu media sosial dan berakhir dengan chatting seputar ini itu.
Seperti
yang dikatakan oleh salah satu lagu lawas, mulanya biasa aja. Dia kerap membuka
obrolan dengan perihal percintaannya yang cukup rumit. Saya selalu menghiburnya
dengan cerita tentang keseharian, kesukaan, bahkan kelucuan yang seringkali
tidak jelas tapi tetap saja menyenangkan.
Ada
masanya kami tidak saling menghubungi selama hampir dua tahun. Entah sama-sama
sibuk (bahagia) atau memang mulai saling melupakan. Saya pun sudah sangat
jarang mengecek media sosial yang biasa menjadi alat komunikasi kami.
Sampai
suatu ketika di tengah kesibukan pekerjaan di akhir bulan, saya iseng membuka
media sosial saya dan menemukan sebuah pesan darinya.
“Hai”
Ternyata
tanggal dikirimnya sudah beberapa bulan lalu dan saya rasa tidak ada salahnya
membalas.
“Ini dikirimnya
sudah lama ya?”
Tidak
sampai lima menit saya menerima balasannya.
“Dari
zaman dinosaurus masih ada dibumi.”
“Maksudnya
di<spasi>bumi ya?”
“Dibahas
aja terus”
“Sampe
kapan?”
“Selamanya
boleh? 😄”
Saya
tidak dapat menahan diri untuk tidak tersenyum. Apa-apaan ini? Padahal beberapa
menit yang lalu rasanya saya ingin membenturkan kepala ke tembok karena suasana
hati dan pikiran yang kacau.
Siapa
sangka, obrolan sederhana di siang hari yang bermula dari satu kata itu berlanjut
sampai beberapa bulan kemudian, tidak ada satu hari pun yang terlewat semacam
sebuah rutinitas hidup. Kami pun sempat bertemu beberapa kali untuk sekadar
makan dan menonton film. Ya, cara standard untuk menghabiskan waktu di kota
besar.
Semuanya
masih biasa saja. Kisah cintanya masih rumit namun menarik untuk didengar.
Sementara cerita yang saya bagi bervariasi antara keseharian dan suasana hati
yang sering berubah. Kami juga sering iseng membahas tentang topik hangat,
kegagalan masa lalu, atau keinginan muluk dalam hidup. Rasanya menyenangkan,
mengingat sudah hampir satu tahun sejak terakhir kali saya berinteraksi dengan
orang lain sedemikian akrab.
Sampai
ketika pesan darinya tidak lagi muncul. Satu dua hari, bahkan seminggu. Saya
sadar apa yang sedang terjadi namun rasanya setengah mati saya ingin
menyangkalnya. Ya, kutukan kegagalan itu datang lagi. Hal ini tidak lagi terasa
menyedihkan tapi menyebalkan, dan saya membenci diri saya yang ternyata tidak
pernah siap menghadapinya.
Biasanya
salah satu cara saya “melawan” kutukan ini dengan mengejar cenderung mengemis
perhatian dari orang tersebut. Saya akan berusaha tidak terjadi apa-apa hingga
akhirnya saya sadar sudah waktunya menyerah saat merasa sudah cukup menyiksa diri
sendiri. Mungkin mereka melihat saya sebagai orang yang tidak tahu malu, tapi
saya menganggapnya sebagai cara untuk menguatkan diri sendiri.
Bagian
yang menarik dari semuanya sekaligus tanda tanya terbesar saya selama ini adalah
mereka tidak pernah mengatakan atau bahkan menunjukkan alasan dari apa yang sedang
terjadi meski terkadang saya memberanikan diri bertanya.
Apakah
saya sudah terbiasa? Sepertinya iya.
Apakah
saya kapok? Sepertinya tidak.
***
“Juliiiiii… Ayo makan
malam dulu!”
“Iya ma,
bentar..”
*save*
*publish*
***
Comments
Post a Comment