#LingkarTulisan: Nomer Dua Puluh (5)
Kesadaran ternyata begitu menyiksa. Tidak heran banyak orang rela
menghabiskan uang begitu banyak hanya untuk mencari ketidaksadaran. Mungkin
mereka tidak ingin bertemu dengan kesadaran karena berbagai alasan, tetapi
izinkan saya berasumsi bahwa sebagian besar dari alasan tersebut adalah
ketidakinginan sadar akan rasa sedih, sakit, kecewa, dan segala jenis emosi
negatif lainnya. Hal ini sangat wajar karena manusia mana di dunia ini yang
tidak ingin bahagia, hanya bahagia? Akan tetapi, sadar atau tidak semua itu
seringkali di luar kendali manusia sebagai salah satu makhluk ciptaanNya.
Itulah yang terjadi pada saya selama ini, susah payah mengatasi
kesadaran akan perasaan saya terhadap dia.
Ya, dia.
Seharusnya saya sadar bahwa status saya sebagai seorang biasa dan dia
sebagai seorang yang luar biasa sudah merupakan jurang kecil namun cukup sulit
dilalui.
Seharusnya saya sadar bahwa proses menunggu dan berharap –mari
gunakan keduanya- yang saya lakukan ini akan sangat menyiksa dan tentu lebih
banyak dipenuhi dengan rasa sakit, kecewa, dan air mata.
Seharusnya saya sadar bahwa tidak pernah ada kejelasan sampai kapan
ketika sudah mulai menunggu dan berharap.
Seharusnya saya sadar bahwa nantinya saya tidak cukup kuat jika harus
memasangkan kata kehilangan dengan dia (yang rasanya sama seperti tidak ada
orang yang cukup kuat untuk bertepuk dengan sebelah tangan).
“Drrrt…drrrt…drrrt…” Bunyi getar dari handphone dengan casing berwarna kuning mencolok
yang tergeletak di hadapanku menghentikan jari-jari Nana yang sejak empat
puluh menit lalu asik membuat tulisan baru di blognya.
“Halo ma… Ini lagi di warnet Naldo.” Nana menaruh
telepon di sisi bahu kirinya sambil sesekali melanjutkan ketikannya.
Aku menebak si penelepon adalah mamanya.
***
Aku masih tak menyangka kalau Nana dan Naldo
ternyata saling kenal (di dunia nyata). Mereka dulunya adalah teman satu kampus
dan cukup dekat. Nana mengambil jurusan Sastra Inggris sedangkan Naldo jurusan
Komputer. Sayangnya, Naldo harus berhenti kuliah di semester akhir karena keterbatasan
biaya.
Selama
ini mereka memang tidak pernah bertemu muka secara langsung. Hal ini karena
Nana selalu datang malam hari saat operator yang bertugas adalah Rian, bukan Naldo.
Sampai suatu hari, tidak seperti biasanya Nana datang ke warnet di siang
bolong.
“Ngiiikkk…”
Siang
itu aku mendengar suara khas yang muncul saat pintu depan dibuka.
“Misi
maaaaas…” suara cempreng Nana membuat beberapa orang yang ada di ruangan
menoleh. Ia berdiri sejenak di depan meja operator. Rupanya Naldo sedang tidak ada
di tempat.
“Langsung
pilih aja mbaaaaak! Saya lagi di toilet bentar niiiiii…” teriak Naldo dari arah
toilet. Biasanya Bang T-J yang mengganti jaga di depan tapi dari pagi memang
sosoknya tidak kelihatan.
“Oh,
oke maaaas..”
Nana
mulai menghampiriku dan mengaktifkan paket 2 jam pemakaian.
Selain
menambah beberapa tulisan baru di blognya,
ia juga tak lupa menyempatkan diri menjelajah blog-blog favoritnya. Salah satunya milik Naldo. Rangkaian tulisan
galau Naldo di blog yang berjudul Words of Warrior ternyata mampu memikat Nana
sampai hampir di tiap postingan milik Naldo terdapat komentar dari Nana yang
menggunakan user hepiNa’s.
“Komputer,
tunjukkin dong siapa orang yang menulis semua ini.. Huhuhu.” gerutu Nana padaku
setiap kali dia selesai membaca blog milik
Naldo.
“Clik!”
tiba-tiba seolah ada yang menggerakkanku menuju sebuah file di C: dan membuat seluruh layar berwarna
hitam serta dipenuhi kode-kode.
Aku bingung sementara Nana terlihat panik.
Kursor kemudian mengarah ke satu file JPEG dengan judul
“Klik di sini”.
“INI KENAPA YA TUHAN?” teriaknya pelan namun
ketara sekali ia bingung dan mengkhawatirkanku(?)
Aku melihat Nana bangkit dari duduknya. Sepertinya ia ingin
ke tempat operator. Belum sempat beranjak selangkah, ia
terdiam di tempatnya dan menatapku.
SELAMAT DATANG DI WARNET
NALDO!
Paket
atau Personal
Profil singkat warnet ini terpampang jelas di depannya,
disertai foto Naldo di sudut bawah halaman.
Dasar narsis, pikirku.
“NALDO??” setengah berlari Nana
yang histeris kegirangan menghampiri Naldo yang kaget kebingungan di meja
depan.
“Kamu Naldo kan?”
“I...iya sih. Siapa ya?”
“Ini Nana. Masih inget? Dulu kan kita sempet sekampus
tapi pas di semester...” cerocos Nana yang seketika berhenti saat
dilihatnya raut muka Naldo mulai sumringah.
“Iya..iya gua inget.
Nana yang dulu sempet jadi juara lomba debat bahasa Inggris kan? Masih suka
nyolot, eh debat? Ahaha.. Btw, kok bisa ada di sini sih? Trus gua ga liat pula
elo masuk kapan..” gantian Naldo yang nyerocos tanpa henti, tak sadar kalo
daritadi Nana memperhatikannya sambil tersenyum.
“Tadi
saya udah teriak, tapi kamu lagi di toilet.”
“Ooo…
yang tadi teriak cempreng itu elo? Trus kok bisa-bisanya nyamperin dan tau klo
gua yang jaga?”
“Saya
lagi asik di komputer nomor dua puluh, tau-tau layar gelap dan tiba-tiba kebuka
profil warnet yang ada kamu didalamnya. Trus kok kaya familiar makanya langsung spontan
manggil. Hehe..” Nana teringat akan kebingungan dan
kepanikan yang sempat ia rasakan.
“Oalaaaaah..
Ada yang emang suka nge-reset sendiri
gitu sih tapi biasanya nomor dua puluh jarang kok. Sori ya, jadi keputus trus
udah keduluan orang deh.” Naldo melirik ke perempuan berambut panjang dengan
pakaian rapi yang sekarang ada di hadapanku.
“Padahal
tadi lagi nanggung loh Nal..” Nana mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan
dan menyerahkannya ke Naldo sambil berpura-pura kesal.
“Ciyee..
lagi chatting sama gebetan ya?” goda
Naldo.
“Bukaaan.
Maunya sih calon gebetan, eh tapi saya ga tau orangnya juga sih. Ini lagi
penasaran. Udah ah, duluan Nal.”
“Loh?” saat itu Naldo
hanya melongo kebingungan melihat Nana keluar ruangan.
Sampai saat ini
aku bertanya-tanya apakah perempuan ini sadar kalau jawaban yang ia cari sudah
ada di depan mata?
***
“Ok
ma, ok.. Pokoknya mama tenang dulu ya. Ini aku jalan pulang sekarang.” Kulihat
Nana terburu-buru mengambil kunci motor dan dompetnya yang tergeletak di
depanku dan segera keluar dari warnet. Tangan kirinya masih mengenggam erat handphone sehabis berbicara dengan
mamanya barusan.
Hasil
ketikannya belum disimpan bahkan paket internet pun belum dimatikan.
“Lho,
Na.. mo ke mana? Tumben cepet.” Nana berpapasan dengan Naldo yang sedang asyik
merokok di depan pintu warnet.
“Iya
ni Nal, urgent. Btw, bonnya rapel aja
ya kaya biasa. Ehehe.”
“Oh,
ok. Gampang.. Ati-ati!”
Suara
motor Nana yang hampir keluar parkiran tertutupi suara cemprengnya yang kembali
terdengar.
“Naaaaaal,
billing belum distop dan kayanya lupa
save ketikan. Tolongiiiiiiiiiin.
Tengs ya!” teriak Nana sambil melambaikan tangan sebelum berbelok di ujung
jalan.
Naldo
geleng-geleng, mematikan rokoknya, dan segera masuk menghampiriku.
Haelah!
gerutunya.
Wah itu bakal ketawan gak kalo yg lagi dibuka blognya Naldo :D
ReplyDeleteSemakin penasaran dan nunggu konflik ceritanya :))
JENG JENG JENG!!
DeleteAaaaakkkk deg deg an
ReplyDeleteAaaaaaakkkku pun..
Delete