The Confession
Ketika
dia yang kau pikir datang untuk menjadi harapan terakhirmu ternyata perlahan
memudar dan menghilang, apakah kau masih percaya dengan adanya kepercayaan?
Ketika
dia yang kau kira telah berhasil menyembuhkan segala lukamu ternyata sebenarnya
hanyalah racun yang menggerogoti dirimu, apakah kau masih mampu berkata sakit?
Ketika
dia yang kau mau habiskan hari-harimu bersamanya ternyata malah menghentikan
langkah di salah satu hari, apakah kau masih siap untuk memulai hari lain?
Ini
bukan cerita tentang jatuh cinta, karena kata jatuh identik dengan rasa
sakit.
Ini
juga bukan cerita tentang patah hati, karena kata patah identik dengan
yang tak lagi utuh.
Ini
tentang hati, yang entah apakah terdapat juga cinta di dalamnya.
***
Sepertinya
empat tahun cukup untuk membuatku yakin dengan perasaanku, tapi entah bagaimana
dengan perasaanmu. Setelah mempertimbangkannya selama beberapa bulan terakhir
aku tahu inilah saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Ya, aku akan
mengatakannya padamu. Lewat telepon saja sepertinya cukup.
***
Kau
lembur malam ini?
Ada
baiknya memang terlebih dulu kukirimkan SMS menanyakan posisimu. Aku tidak mau meneleponmu
ketika kau masih tenggelam dalam pekerjaanmu yang seringkali merampas jam
malammu. Aku juga tidak mau meneleponmu ketika kau sedang sibuk dengan kamera
kesayanganmu itu, entah kau mencari objek baru atau sebatas bermain-main dengan
ratusan gambar di dalamnya.
Aku
ingin dering telepon dariku menyadarkanmu dari lamunan santai ketika kau sedang berkawan sekaleng bir dingin dan duduk berpeluk gitar di balkon rumahmu.
Sepertinya
iya.
Ada
apa?
Nanti
saja aku telepon.
Kabari
aku ketika kau sudah di rumah.
Waduh,
jadi deg-degan.
Tak kubalas lagi SMS terakhir darimu. Menit
berganti jam aku hanya sibuk merangkai kata, membangun mood, dan menahan
kantuk. Layar handphone dan jam
dinding yang tadinya kupandangi dengan sumringah malah ganti menertawakanku
yang mulai gelisah. Sudah hampir tengah malam. Membayangkanmu lupa dengan
janjimu beberapa jam yang lalu rasanya aku tak sanggup.
Baiklah, mungkin kau terlalu lelah untuk sekadar
memberi kabar.
Sudahlah, mungkin aku perlu tidur untuk sekadar
menepis mata yang mulai panas.
***
Setengah sadar aku membuka mata menantang sinar
matahari yang masuk melalui jendela kamar. Sial, entah SMS sepenting apa yang
masuk pagi-pagi di hari libur seperti sekarang.
Maaf
tadi malam aku lupa.
Sebenarnya
apa yang mau kau bicarakan?
Mendadak kantukku hilang. Aku bergeming menatap
SMS darimu, kulihat waktu dikirimnya 30 menit sebelum aku bangun. Kubaca lagi
dan lagi entah untuk apa.
Mungkin seharusnya aku senang karena SMS darimu
adalah hal pertama yang menyapaku hari ini.
Mungkin seharusnya aku marah karena semudah itu kau melupakan janjimu sendiri.
Mungkin seharusnya aku marah karena semudah itu kau melupakan janjimu sendiri.
Mungkin seharusnya kau meneleponku langsung saja.
Maaf, aku tidak membalas SMSmu. Bukan tidak mau,
hanya saja aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
***
Semua tak lagi sama.
Aku bagaikan calon pengantin yang sibuk mencari
hari baik.
Aku bagaikan juara umum sekolah yang sibuk
mempersiapkan kata-kata terbaiknya.
Aku bagaikan seorang sandera yang diikat di
sebuah ruangan bersama sebuah bom waktu.
Sampai ketika aku mendengar kabar kau akan pergi
berlibur selama satu minggu ke luar kota, aku pun
memilih mencoba kembali peruntunganku di malam sebelum keberangkatanmu. Ya, aku
akan mengatakannya padamu. Kali ini, lewat SMS saja sepertinya cukup.
Butuh
waktu empat tahun hanya untuk mengatakan bahwa sebenarnya aku menyukaimu.
Mungkin rasa ini bisa dibilang sayang tapi aku takut terdengar picisan.
Seharusnya memang aku mengatakannya langsung padamu, tapi toh untuk sekadar
meneleponmu saja aku tidak punya kesempatan (atau memang kau sudah tidak ingin
bicara denganku), entahlah…
Tenang
saja, pengakuanku ini tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya terlalu menyimpannya
lebih lama lagi.
Lagi, kubaca perlahan kata demi kata yang
mewakili perasaanku selama bertahun-tahun dan kurangkai dalam dua halaman.
Aneh, aku juga merasakan ada yang perlahan menetes hangat di kedua pipiku. Air
mata apa ini? Mengapa seolah-olah aku sedang mengucapkan perpisahan? Kukuatkan
hati dan tanganku yang gemetar menekan tombol ‘kirim’.
Sesudahnya, aku seperti ada kelegaan mengisi
hatiku yang selama ini penuh dengan gumpalan rasa untukmu. Tanpa disadari, aku mulai egois. Kelegaan itu ternyata membawa serta keresahan, menunggu apapun balasan darimu.
***
Hari berganti hari, minggu, bulan, dan tahun,
bahkan tepatnya empat tahun sudah sejak itu kau bagaikan Clementine di film
Eternal Sunshine of The Spotless Mind yang (sengaja) menghapus semua
ingatannya.
***
Bagimu mungkin sebenarnya tak pernah ada aku.
Bagiku mungkin seharusnya tak pernah ada
menunggu.
Comments
Post a Comment