Hello, Goodbye
Waktu
sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat beberapa menit saat aku memutuskan untuk
pulang sehabis menonton film animasi yang kutunggu sejak lama dan kebetulan
memang hanya tayang di bioskop ini. Sudah
cukup larut, pikirku. Saat tiba di lantai tiga, mataku tertuju pada sebuah
kedai kopi yang terletak di bagian pojok lantai ini dengan logo sebuah cangkir berwarna coklat tua . Itu adalah salah satu tempat kesukaanmu dulu. Apa sekarang pun masih? tanyaku dalam hati.
Cukup
lama aku memandangi tempat itu. Banyak yang berubah sejak terakhir kali aku
masuk ke dalamnya beberapa tahun lalu. Sekarang mereka memperluas areanya
hingga ke bagian depan dan juga mulai menjual kue dan roti. Warna coklat
tua masih mendominasi ruangan dan juga seragam para karyawannya, namun kini mereka
memberi nuansa kuning sebagai detail tambahan meja dan kursinya.
Aku
tersenyum mengingat dulu tempat ini begitu kecil dan sederhana. Kamu
menyebutnya ekslusif karena memang keberadaannya tidak terlalu mencolok dan
itulah yang membuatmu menyukainya. Tempatmu menungguku menonton film karena memang
selera film kita cukup berbeda. Tempatmu melarikan diri saat merasa bosan
dengan suasana kantor karena memang letaknya cukup strategis. Tempatmu merayakan
hal-hal yang menurutku tidak penting cenderung gila seperti saat kamu menyetir
hampir dua puluh jam tanpa tidur dan sempat kecelakaan tapi tidak mati atau
saat kamu tahu untuk pertama kalinya aku membuat nasi goreng yang meski rasanya aneh tapi bisa dimakan tanpa menyebabkan gangguan pencernaan. Bahkan
tempatmu menenangkanku setiap kali aku butuh seseorang untuk berbagi cerita.
Tanpa
sadar, aku melangkahkan kakiku ke arah kedai kopi tersebut. Saat sudah semakin
dekat dan hampir masuk ke dalam samar-samar terdengar intro sebuah lagu, yang
sangat akrab di telingaku karena pernah kuputar berulang-ulang hingga muak, dari
pengeras suara salah satu toko bersamaan dengan mataku yang menangkap sesosok wajah yang masih sangat
kukenal.
Kamu.
Hai, selamat bertemu lagi…
Andai
sebuah sapaan sederhana bisa keluar dari mulutku atau paling tidak sekadar
senyum tipis, manakala takdir kembali mempertemukan kita. Seperti hari ini.
Aku, yang selama ini menolak percaya dengan yang namanya kebetulan, justru baru
saja menyebut soal takdir. Lucu, bukan?
Aku sudah lama menghindarimu.
Sialkulah kau di sini…
Ternyata
tiga tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan seseorang. Meski selama ini
sebisa mungkin aku menutup mata dan telingaku dari semua kabar tentangmu baik
dari siapapun itu atau lewat media sosial, tapi asal kamu tahu tidak pernah
satu hari pun aku lewati tanpa pikiran tentangmu. Tentang kita.
Akan
tetapi, tidak peduli seberapa kuat ingatanku tentangmu bukan berarti aku
berharap untuk dapat melihatmu lagi. Seperti hari ini.
Sungguh tak mudah bagiku. Rasanya tak
ingin bernafas lagi, tegak berdiri di depanmu kini…
Tatapanmu
yang hanya sepersekian detik mengunci mulutku, membekukan kakiku, sekaligus
meruntuhkan dinding tebal yang susah payah kubangun untuk mengubur kenangan
bersamamu sejak delapan tahun lalu kita mulai saling mengenal pertama kali.
Jangankan
sebuah sapaan perihal kabar atau sekadar senyuman, saat ini aku merasa seperti
ingin menangis. Apa aku terlalu bahagia bisa melihatmu lagi? Apa aku merasa
malu dengan diriku sendiri? Entahlah. Sejak dulu kamu memang selalu bisa
membuatku terpaku seperti orang bodoh. Seperti hari ini.
Dan upayaku tahu diri tak selamanya
berhasil, pabila kau muncul terus begini tanpa pernah kita bersama.
Hanya
sekilas saja dan sekarang kamu sudah kembali tertawa bersama teman-temanmu.
Mungkin terdengar menyedihkan, tapi aku memang berharap kamu bisa melihatku
sekali lagi. Tidak perlu datang keluar menghampiriku
atau bahkan tersenyum, cukup lihat aku beberapa detik lagi saja.
Aku
tidak bisa lagi membohongi perasaanku sendiri kalau aku memang masih sangat
merindukanmu dan ingin sekali melihatmu meski hanya dari kejauhan. Seperti hari
ini.
Bye, selamat berpisah lagi. Meski
masih ingin memandangimu…
Sebuah
nada getar dari dalam tasku seperti sebuah tamparan yang membangunkanku dan
seketika membuatku berbalik, setengah berlari menjauh dari kedai itu dan langsung turun menuju pintu keluar. Aku mulai bisa bernapas dengan normal saat berjalan menuju halte bus terdekat dan menaiki
satu persatu anak tangganya. Sial, sudah sejauh ini tapi bagian
terakhir lagu itu masih saja terus menghantui pikiranku.
Berkali-kali ku tlah berjanji
menyerah.
Dan upayaku tahu diri tak slamanya berhasil
Pergilah, menghilang sajalah
Pergilah, menghilang sajalah lagi
Aku
terdiam di tengah jembatan penyeberangan yang sudah mulai sepi. Tanpa sadar
satu persatu air mataku mulai mengalir perlahan, mengaburkan pandanganku di
Sabtu malam ini hingga yang kulihat hanyalah jalanan ibukota dan banyak titik
lampu kendaraan berwarna kuning dan merah.
Ternyata ini ada lirik lagunya Maudy Ayunda ya :)))
ReplyDeleteIya Kak, kayanya karena abis liat ada yang ngetwit lagunya. Ahaha.
ReplyDelete