Kehidupan Netizen


          Selamat pagi. Jangan lupa bahagia! ^^

Setengah mengantuk kutekan tombol “tweet” di layar hp kemudian melempar telepon genggamku entah ke mana. Jam dinding berwarna kuning dengan motif telur mata sapi yang berada tepat di atas pintu masuk kamar menunjukkan pukul 8.00. Masih terlalu pagi untuk memulai hari, pikirku sambil berusaha meneruskan tidur yang terganggu.

***
Cuaca yang terik membuatku merasa matahari bukan lagi bersinar, melainkan membakar kepalaku. Apalagi ketika harus berjalan kaki yang tentu saja bukan atas dasar kesehatan atau kesenangan menikmati sekitar, melainkan untuk menghemat ongkos yang sama dengan tarif satu jam pemakaian di warnet langganan.

“Mas, paket biasa ya!” kataku pada operator warnet yang entah siapa namanya tapi berhubung sering ke sini sejak beberapa tahun lalu, mungkin tidak ada salahnya merasa kami sudah cukup akrab hingga ia sudah paham dengan apa yang kumaksud “biasa”.

Ia menganggukkan kepalanya sekilas saat aku berjalan menuju bilik favoritku di bagian pojok ruangan.

Semoga ada kabar baik. Doaku saat menyalakan komputer.

Ternyata surat lamaran kesekian yang kukirim dua minggu lalu lagi-lagi belum (atau tidak) mendapat balasan.

Berbeda dengan kicauan pagiku di media sosial yang sebenarnya hanya semacam keisengan rutin dan bentuk ekspresi palsu belaka justru malah mendapat cukup banyak balasan. Hampir semua maknanya sama. Tentu saja tak lupa dibumbui dengan kata-kata bersayap dalam rangka memberi semangat yang sayangnya hanya membuatku mual. Entah mereka pun sekadar basa basi atau memang harinya senantiasa cerah tanpa keluh kesah.

          Makan adalah salah satu cara mensyukuri hidup.
          Jadi, makan apa kita siang ini?

Lagi-lagi aku merasa ditertawakan diriku sendiri yang terus saja mengumbar kata-kata positif seolah semuanya baik-baik saja, padahal kenyataannya berkata lain.

Sudah hampir sebulan sejak kontrakku di tempat kerja tidak diperpanjang. Sebagai anak tunggal yang merangkap tulang punggung keluarga, menjadi pengangguran tentunya merupakan salah satu ketakutan terbesar. Kemarin, pemilik kontrakan yang kutinggali bersama orangtuaku menelpon dan berkata jika dalam waktu satu bulan kami tidak bisa membayar biaya sewa setahun maka kami harus pindah. Padahal jangankan untuk setahun, saldo di rekeningku saat ini bahkan tidak cukup untuk membayar sewa satu bulan.

Tidak hanya bingung mengenai urusan pekerjaan, tetapi saat ini aku juga dipusingkan dengan harus mencari pinjaman karena selama ini selain satu dua orang di kantor lama aku hampir tidak pernah berinteraksi dengan siapapun, kecuali di dunia maya.

Bicara tentang dunia maya, aku pun heran dengan alasan mereka di luar sana yang tertarik untuk mengikuti kicauan di akun personalku selama ini. Andai saja mereka tahu seperti apa aku ini di dunia nyata.

Ya, dunia maya adalah duniaku saat ini.

Aku berbagi sisi lain dari diriku.
Aku berbagi keseruan yang tak pernah kualami.
Aku berbagi kecintaan perihal ini dan itu yang hanya ada di pikiranku.
Aku berbagi mimpi yang bahkan sebenarnya tak akan pernah berani kulakukan.
Aku berbagi tawa sambil menangis.

Ya, tanpa sadar itu semua membuatku merasa baik-baik saja.

Mungkin sebenarnya aku tidak lupa bahagia, aku hanya tidak (lagi) tahu bahagia itu seperti apa.

Satu hal yang kutahu adalah tiap kali melihat notifikasi masuk, aku merasa hidup. Aku dilihat dan diakui. Rasanya seolah menjadi normal, bisa berbincang dan tertawa dengan orang lain meski yang tak pernah kutemui.

…dan buatku itu cukup.

Comments

Popular posts from this blog

Resolusi

Selamat Tinggal

Everything Is Not That Important, Everyone Is